pendahuluan |
Dewasa ini kedudukan bahasa Indonesia semakin terjepit. Kita sering mendengar orang berdalih bahwa berbahasa itu yang terpeting lawan berbicara dapat memahami informasi yang kita sampaikan, dan tidak harus menggunakan bahasa yang baik dan benar sebagaimana yang diatur dalam bahasa Indonesia. Pretensi itu berkembang menjadi sebuah aksioma di tengah masyarakat. Dampaknya, bahasa Indonesia menjadi terabaikan.
Sepanjang sejarah bahasa Indonesia selalu mengalami perkembangan. Dalam perkembangannya bahasa Indonesia tidak menampik kenyataan terhadap masuknya bahasa lain. Justru bahasa-bahasa yang masuk itu dapat memperkaya bahasa Indonesia terutama dari segi perbendaharaan kata. Sungguhpun bahasa Indonesia diperkaya oleh bahasa lain, tetapi tidak sampai pada struktur bahasa secara keseluruhan. Karena itu, bahasa Indonesia tetap dapat menunjukkan jati dirinya.
Isi
Bahasa indonesia saat ini sistem pendidikan di Indonesia sampai saat ini dianggap masih belum stabil. Setiap pergantian pejabat selalu menimbulkan masalah tersendiri. Jika ditengok perjalanan kurikulum pendidikan kita, selalu saja berganti-ganti. Yang terkini adalah diubahnya kurikulum berbasis kompetensi menjadi kurikulum tingkat satuan pelajaran (KTSP), meskipun dengan dalih sebagai pengembangan kurikulum sebelumnya.
Banyak praktisi pendidikan yang bingung terhadap kebijaksaan tersebut. Yang lebih memperihatinkan, sering sebelum kebijaksanaan itu tersosialisasi dengan baik di tingkat bawah, telah muncul kebijaksanaan baru. Akibatnya para guru banyak yang putus asa, karena apa yang dilakukan selama ini, sebelum sampai pada tujuan yang ingin dituju, terpaksa harus berbalik arah.
Imbas dari kebijaksanaan itu dirasakan pula oleh guru-guru Bahasa Indonesia. Banyak guru Bahasa Indonesia yang turut kebingungan mengikuti arah kebijaksanaan yang ditetapkan oleh pemerintah tersebut, sehingga banyak pula diantara mereka yang akhirnya kembali mengajar dengan menggunakan pola lama.
Dengan ditetapkannya kebijaksanaan tentang ujian akhir nasional (UAN) oleh pemerintah, di sisi lain merupakan harapan baru bagi perkembangan Bahasa Indonesia. Dengan ketetapan itu mau tidak mau Bahasa Indonesia akan mendapatkan apresiasi yang besar di masyarakat, tetapi di lain pihak menjadi beban tersendiri bagi guru Bahasa Indonesia, karena mereka harus bekerja ekstra memenuhi dua tuntutan sekaligus. Di sisi lain ia harus pengajar memenuhi tuntutan kurikulum, dan di lain pihak ia harus mempersiapkan ujian akhir nasional.
Banyak terdengar suatu lembaga pendidikan menetapkan sebuah kebijaksanaan yang melaggar ketetapan kurikulum. Misalnya, lembaga pendidikan yang hanya mengajarkan tiga bidang studi kepada siswa-siswanya pada tahun terakhir menjelang diselenggarakannya ujian akhir nasional, sedangkan matapelajaran lain diabaikan. Yang lebih parah lagi ada sekolah yang hanya mengadakan driil soal-soal UAN dari ketiga bidang studi yang akan diujikan tersebut, pada lima atau enam bulan menjelang diselenggarakannya UAN.
Pelajaran Bahasa Indonesia juga tidak luput dari kebijaksanaan itu. Banyak guru Bahasa Indonesia harus ikut-ikutan melakukan praktik tersebut agar mereka tidak disebut gagal dalam mengajar. Sebagaimana persepsi sebagian besar masyarakat, bahwa keberhasilan guru terletak pada keberhasilannya membawa anak mencapai nilai tertinggi, atau lulus pada ujian akhir nasional.
Bahasa indonesia akan datang kendati pelajaran Bahasa Indonsia masuk dalam materi ujian akhir nasional (UAN), tetapi kenyataan ini tidak seperti yang kita harapan. Dalam UAN itu materi Bahasa Indonesia banyak berbicara tentang kebahasaan, dan belum sampai berbicara tentang terampil berbahasa. Padahal, dalam amanat kurikulum pelajaran Bahasa Indonesia hendaknya mengajarkan anak agar trampil/mahir berbahasa, dan bukan sekedar mengajarkan anak menguasai tentang bahasa. Penguasaan tentang bahasa seharusnya dijadikan sebagai jembatan menuju anak terampil/mahir berbahasa.
Amanat kurikulum, pengajaran Bahasa Indonesia seharusnya diajarkan dalam tataran apektif dan psikomotorik, dan bukan hanya sekedar tataran kognitif. Karena itu, meskipun bahasa Indonesia masuk dalam ujian akhir nasional, tetapi hendaknya harus tetap memperhatikan kedua ranah itu sebagai indikator keberhasilan belajar berbahasa.
Diakui banyak guru kesulitan membuat alat ukur dari kedua ranah itu. Lebih-lebih jika kedua ranah itu harus dimasukkan ke dalam materi ujian akhir nasional. Namun, dapat dimaklumkan bila penetapan kelulusan tidak diputuskan sepenuhnya oleh pemerintah pusat, mengingat perkembangan sikap dan perilaku anak (apektif dan psikomotor), yang dianggap sulit dibuatkan alat ukurnya itu, tidak mungkin dapat diwakili oleh kemampuan kognitif saja yang dijadikan sebagai ukuran kelulusan oleh pemerintah. Selain itu, fasilitas yang dimiliki oleh masing-masing sekolah maupun menurut wilayah penyelenggaraan juga berbeda-beda. Anak yang berada di wilayah Irian Jaya misalnya, tentu akan berbeda dengan anak yang berada di Jakarta atau di kota-kota besar lain yang nota bene memiliki fasilitas yang cukup dan serba mudah di jangkau. Hal-hal yang demikian ini perlu mendapat apresiasi dari para pengambil kebijakan.
Menurut pendapat penulis, penetapan kelulusan hendaknya melibatkan sekolah, karena perkembangan anak, baik segi apektif, psikomotor, lebih-lebih segi kognitif dari tahun ke tahun, bulan ke bulan bahkan, dari hari ke hari hanya sekolah yang dapat merekamnya.
Ke depan pelajaran Bahasa Indonesia selain mengujikan perihal kemampuan kognitif, hendaknya juga harus mengujikan kemampuan apektif dan psikomotorik anak, dan UAN boleh saja tetap diadakan untuk sekedar mengukur kemampuan kognitif, tetapi kemampuan apektif dan psikomotorik juga harus tetap diukur agar tercapai keseimbangan penilaian, dan itu adalah tugas sekolah secara langsung yang nota bene mengetahui perkembangan anak seutuhnya. Untuk hal ini kewenangan penetapan kelulusan seharusnya tidak dipegang oleh pemerintah pusat semata.
Selanjutnya, hal penting lainya yang perlu mendapat perhatian pemerintah adalah kewenangan guru mengajar. Tidak dapat dimungkiri bahwa selama ini banyak guru yang tidak memiliki keahlian bidang Bahasa Indonesia, tetapi mereka mengajarkan Bahasa Indonesia. Akibatnya, pelajaran Bahasa Indonesia tidak saja membosankan tetapi lebih parah lagi anak merasa benci dengan beban materi hapalan tentang kebahasaan yang diberikan oleh guru mereka.
Diharapkan ke depan pelajaran Bahasa Indonesia benar-benar diajarkan menurut amanat kuriklum, yakni menekankan pada keterampilan/kemahiran berbahasa anak, dan bukan hanya monoton pada materi tentang kebahasaan yang membosankan itu. Demikian pula guru yang dipercaya mengajarkan matapelajaran Bahasa Indonesia hendaknya adalah guru yang benar-benar memiliki kompetensi dalam bidang tersebut, bukan guru yang dicomot untuk sekedar mengisi kekosongan tenaga pengajar. Kalau itu yang terjadi, Bahasa Indonesia akan berkembang dengan baik di tengah pemakainya.
Penutup
Kecenderungan mengunggulkan identitas asing akhir-akhir ini telah menjadi-jadi, tidak terkecuali bahasa. Hampir setiap gedung-gedung megah di Indonesia, terpampang tulisan-tulisan asing sebagai lambang kemodernan, sedangkan pemakai bahasa Indonesia dianggap kampungan dan telah ketinggalan zaman. Sikap yang demikian ini tentu akan melunturkan citra dan identitas bangsa.
Opini
pendapat saya adalah kita harus selalu menggunakan bahasa indonesia walaupun sekarang ini di indonesia sudah banyak bahasa asing yang masuk ke indonesia.pembelajaran bahasa indonesia juga selalu harus dilibatkan dalam masa masa sekolah dengan menggunakan bahasa indonesia yang baik yaitu dengan EYD.
kita harus bangga menggunakan BAHASA INDONESIA, merdeka...
No comments:
Post a Comment